serangga terinveksi |
Serangan hama merupakan salah satu faktor
pembatas untuk peningkatkan produksi pertanian yang dalam kasus ini adalah
pemeliharaan anggrek,padi,jadung serta tanaman yang lainnya. Untuk megendalikan
hama seringkali digunakan pestisida kimia dengan dosis yang berlebih. Padahal
akumulasi senyawa-senyawa kimia berbahaya dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap kelestarian lingkungan dan kesehatan manusia. Ditengah maraknya
budidaya pertanian organik, maka upaya pengendalian hama yang aman bagi
produsen/petani dan konsumen serta menguntungkan petani, menjadi prioritas
utama. Adanya kekhawatiran akan pengaruh negatif tentang pemakaian agrokhemikal
telah meningkatkan perhatian masyarakat kepada bioinsektisida sebagai
alternative teknologi untuk menurunkan populasi hama. Salah satu alternatif
pengendalian adalah pemanfaatan jamur penyebab penyakit pada serangga
(bioinsectisida), yaitu jamur patogen serangga Beauveria bassiana.
Di Indonesia, hasil-hasil penelitian B. bassiana juga
telah banyak dipublikasikan, terutama dari tanaman pangan untuk mengendalikan
serangga hama kedelai (Riptortus linearis
dan Spodoptera litura), walang sangit
pada padi (Leptocoriza acuta)
(Prayogo, 2006), Plutella xyl
ostella pada sayursayuran (Hardiyanti, 2006), hama bubuk buah kopi Helopeltis antoni, dan penggerek buah kakao Hypothenemus hampei (Sudarmadji dan Prayogo, dalam Prayogo, 2006). Saat ini produk bioinsektisida berbahan aktif B. bassiana telah tersedia secara komersial di Indonesia. Meskipun demikian, tampaknya pemanfaatannya di lapang khususnya untuk tanaman perkebunan belum optimal. Padahal,lingkungan mikro tanaman perkebunan sangat ideal bagi perkembangan epizootik cendawan-cendawan entomopatogen, termasuk B. bassiana. Keberlangsungan epizootik cendawan sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban lingkungan, dan kriteria ini dapat ditemukan pada tanaman-tanaman perkebunan yang banyak diusahakan di Indonesia. Disamping itu, pemanfaatan cendawan ini dan patogen serangga secara umum dalam pengendalian hama berpotensi memberi keuntungan ekologis jangka panjang terhadap keseimbangan hayati maupun keberlanjutan sistem pertanian.
ostella pada sayursayuran (Hardiyanti, 2006), hama bubuk buah kopi Helopeltis antoni, dan penggerek buah kakao Hypothenemus hampei (Sudarmadji dan Prayogo, dalam Prayogo, 2006). Saat ini produk bioinsektisida berbahan aktif B. bassiana telah tersedia secara komersial di Indonesia. Meskipun demikian, tampaknya pemanfaatannya di lapang khususnya untuk tanaman perkebunan belum optimal. Padahal,lingkungan mikro tanaman perkebunan sangat ideal bagi perkembangan epizootik cendawan-cendawan entomopatogen, termasuk B. bassiana. Keberlangsungan epizootik cendawan sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban lingkungan, dan kriteria ini dapat ditemukan pada tanaman-tanaman perkebunan yang banyak diusahakan di Indonesia. Disamping itu, pemanfaatan cendawan ini dan patogen serangga secara umum dalam pengendalian hama berpotensi memberi keuntungan ekologis jangka panjang terhadap keseimbangan hayati maupun keberlanjutan sistem pertanian.
belalang yang telah terinveksi |
Menurut klasifikasinya, B. bassiana termasuk
klas Hypomycetes, ordo Hypocreales dari famili Clavicipitaceae (Hughes, 1971).
Cendawan entomopatogen penyebab penyakit pada serangga ini pertama kali
ditemukan oleh Agostino bassi di Beauce, Perancis. (Steinhaus, 1975) yang
kemudian mengujinya pada ulat sutera (Bombyx mori). Penelitian tersebut bukan
saja sebagai penemuan penyakit pertama pada serangga, tetapi juga yang pertama
untuk binatang. Sebagai penghormatan kepada Agostino Bassi, cendawan ini
kemudian diberi nama Beauveria bassiana. Cendawan B. bassiana juga dikenal
sebagai penyakit white muscardine karena miselia dan konidia (spora) yang
dihasilkan berwarna putih, bentuknya oval, dan tumbuh secara zig zag pada
konidiopornya. Cendawan ini memiliki kisaran inang serangga yang sangat luas, meliputi
ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Hemiptera.
Selain itu, infeksinya juga sering ditemukan
pada serangga-serangga Diptera maupun Hymenoptera (McCoy et al.,
1988). Mekanisme Kerja B.bassiana yakni B.bassiana masuk melalui mulut serangga hama, kemudian tumbuh
dan berkembang menghancurkan sistem organ dari dalam. B.bassiana menempel pada kulit hama dan mengeluarkan enzim
(Kitinase, Protease, Lipase) untuk menghancurkan kulit. B.bassiana mengeluarkan racun (Beauvericin, Beauveroilides, Asam
oksalat) untuk membunuh hama. Miselium tumbuh secara progresif dan muncul badan
buah berwarna putih pada hama yang mati, jika hama terinfeksi tersinggung hama
sehat, maka hama akan tertulari, penularan dapat melalui angin. Kematian hama
berkisar kurang lebih 4-8 hari setelah terinfeksi B.bassiana.
Serangga
inang utama B. bassiana yang dilaporkan oleh Plate (1976) antara lain:
-kutu pengisap (aphid),
-kutu pengisap (aphid),
· -kutu putih
(whitefly),
· -belalang,
· -hama
pengisap,
· -lalat,
· -kumbang,
· -ulat,
· -thrips,
· -tungau, dan
beberapa spesies uret.
Seperti cendawan lain, perrtumbuhan B.
bassiana juga sangat ditentukan oleh kelembapan lingkungan. Namun demikian,
cendawan ini juga memiliki fase resisten yang dapat mempertahankan kemampuannya
menginfeksi inang pada kondisi kering. Keberadaan epizootiknya di alam
menyebabkan B. bassiana secara cepat menginfeksi populasi serangga hingga
menyebabkan kematian. Selain itu, kemampuan penetrasinya yang tinggi pada tubuh
serangga menyebabkan cendawan ini juga dengan mudah menginfeksi serangga hama
pengisap, seperti aphid (Aphis sp.) dan kutu putih Bemisia spp. yang tidak
mudah terinfeksi oleh bakteri maupun virus.
Seperti cendawan lain, perrtumbuhan B.
bassiana juga sangat ditentukan oleh kelembapan lingkungan. Namun demikian,
cendawan ini juga memiliki fase resisten yang dapat mempertahankan kemampuannya
menginfeksi inang pada kondisi kering. Keberadaan epizootiknya di alam
menyebabkan B. bassiana secara cepat menginfeksi populasi serangga hingga
menyebabkan kematian. Selain itu, kemampuan penetrasinya yang tinggi pada tubuh
serangga menyebabkan cendawan ini juga dengan mudah menginfeksi serangga hama
pengisap, seperti aphid (Aphis sp.) dan kutu putih Bemisia spp. yang tidak
mudah terinfeksi oleh bakteri maupun virus.
Meskipun pengaruh cahaya terhadap infeksi
cendawan belum diketahui secara jelas, tetapi intensitas sinar ultraviolet
tertentu dapat merusak konidia cendawan (Callaghan, 1969). Fuxa (1987)
menyatakan bahwa intensitas cahaya matahari dengan rata-rata panjang gelombang
antara 290-400 nm cukup efektif menurunkan persistensi deposit konidia pada
pertanaman. Sementara Ignoffo et al. (1977) mengemukakan bahwa waktu paruh
(half-life) sebagian besar spora cendawan yang terekspos cahaya buatan dengan
panjang gelombang mendekati panjang gelombang sinar matahari (290-400 nm) hanya
sekitar 1-4 jam, tetapi kenyataannya di lapang waktu paruh dapat mencapai lebih
dari 4 jam.
Umumnya cendawan entomopatogen membutuhkan
lingkungan yang lembab untuk dapat menginfeksi serangga, oleh karena itu
epizootiknya di alam biasanya terbentuk pada saat kondisi lingkungan lembab
atau basah. Keefektifan B. bassiana menginfeksi serangga hama tergantung pada spesies
atau strain cendawan, dan kepekaan stadia serangga pada tingkat kelembaban
lingkungan, struktur tanah (untuk serangga dalam tanah), dan temperatur yang
tepat. Selain itu, harus terjadi kontak antara spora B. bassiana yang
diterbangkan angin atau terbawa air dengan serangga inang agar terjadi infeksi.
Plate (1976) juga menyatakan bahwa epizootik cendawan yang terbentuk secara
alami efektif mengendalikan populasi aphid, tempayak lalat yang menyerang
perakaran tanaman, belalang, dan thrip, disamping juga potensial sebagai faktor
mortalitas utama aphid yang menyerang kentang dan tanaman inang lainnya.
Konidia merupakan unit B. bassiana yang paling
infektif dan stabil untuk aplikasi di lapang dibandingkan dengan hifa maupun
blastosporanya (Soper dan Ward, 1981; Feng et al., 1994). Konidia yang
diaplikasikan dapat berupa suspensi (tidak diformulasi), formulasi butiran, dan
bentuk pellet, dan ketiganya memperlihatkan hasil pengendalian yang cukup
nyata. Stimac et al. (1993) menyatakan bahwa aplikasi konidia B. bassiana
dengan cara sprinkle dan disemprotkan pada permukaan tanah sangat efektif
menyebabkan mortalitas hama sasaran. Mortalitas hama semut api, Selenopsis
invicta, yang dikendalikan dengan B. bassiana tertinggi mulai 3-8 hari setelah
perlakuan. Sedangkan enkapsulasi (pellet) konidia B. bassiana dengan
menggunakan kalsium alginat juga efektif meningkatkan mortalitas S. invicta
(White, 1995), karena enkapsulasi menyebabkan konidia lebih stabil di dalam
tanah.
KEAMANAN PENGGUNAAN INSEKTISIDA B. BASSIANA
KEAMANAN PENGGUNAAN INSEKTISIDA B. BASSIANA
Beberapa senyawa metabolit sekunder diproduksi
oleh B. bassiana, seperti beauvericin, bassianin, bassiacridin,
bassianolide, beauverolides, tenellin, dan oosporein (Strasser et al., 2000;
Vey et al., 2001; Quesada-Moraga dan Vey, 2004). Senyawa metabolit sekunder ini
dapat dihasilkan oleh B. bassiana pada epizootik di alam (tanah) maupun pada
epizootik buatan (di laboratorium). Meskipun demikian, hingga saat ini belum
ada laporan tentang tercemarnya rantai makanan oleh senyawa metabolit sekunder,
atau terakumulasi di alam sebagai limbah epizootik B. bassiana (Vey et al.,
2001).
Penggunaan B. bassiana dalam pengendalian hama
telah diuji secara luas di berbagai negara. Hasil uji toksikologi terhadap
salah satu produk B. bassiana, Botanigard, menunjukkan bahwa produk tersebut
tidak menimbulkan dampak negatif yang berhubungan dengan patogenisitas dan
toksisitasnya, sehingga produk tersebut digunakan secara aman selama lebih dari
10 tahun di Amerika Serikat dan juga di beberapa negara lain (US EPA, 2006).
Dihubungkan dengan keamanan secara hayati,
cendawan entomopatogen dikelompokkan menjadi cendawan dengan kisaran inang
spesifik dan yang kisaran inangnya luas (MacLeod, 1963). Cendawan yang memiliki
kisaran inang spesifik umumnya menjadi parasit sejati (obligat) dan bersifat
sangat virulen tarhadap inang. Sebaliknya yang kisaran inangnya luas sebagian
besar merupakan patogen fakultatif, bersifat saprofit, dan cenderung kurang
patogenik (Goettel et al., 1990), dan biasanya virulensinya tinggi hanya pada
spesies inang dari mana cendawan tersebut pertama kali diisolasi. Contoh, B.
bassiana yang diisolasi dari ulat H. armigera akan lebih patogenik pada
inangnya tersebut dibanding dengan inang-inangnya yang lain. Selain itu,
cendawan yang kisaran inangnya lebih luas justru menjadi lebih spesifik menginfeksi
inang jika di lapang. Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena dipengaruhi oleh
interaksi antara faktor abiotik dan biotik di lapang, sehingga serangga yang
mudah terinfeksi di laboratorium belum tentu mudah juga terinfeksi di lapang.
Oleh karena itu, kemungkinan terinfeksinya serangga bukan sasaran oleh B.
bassiana di lapang sangat kecil. Dengan demikian, aplikasi B. bassiana di
lapang cenderung aman bagi musuh alami atau serangga berguna lainnya. Infeksi
B. bassiana pada manusia sangat jarang terjadi.
Pengujian Botanigard terhadap mamalia, burung, dan ikan juga tidak
menunjukkan pengaruh negatif terhadap perkembangan hewan-hewan tersebut (US EPA, 2006).Demikian pula pengujian terhadap sejumlah
reptil maupun vertebrata yang membuktikan bahwa B. bassiana tidak menginfeksi
keduanya (Georg et al., 1962; Fromtling et al., 1979; Gonzalez et al., 1995).
Umumnya cendawan entomopatogen membutuhkan
lingkungan yang lembab untuk dapat menginfeksi serangga, oleh karena itu
epizootiknya di alam biasanya terbentuk pada saat kondisi lingkungan lembab
atau basah. Keefektifan B. bassiana menginfeksi serangga hama tergantung pada spesies
atau strain cendawan, dan kepekaan stadia serangga pada tingkat kelembaban
lingkungan, struktur tanah (untuk serangga dalam tanah), dan temperatur yang
tepat. Selain itu, harus terjadi kontak antara spora B. bassiana yang
diterbangkan angin atau terbawa air dengan serangga inang agar terjadi infeksi.
Plate (1976) juga menyatakan bahwa epizootik cendawan yang terbentuk secara
alami efektif mengendalikan populasi aphid, tempayak lalat yang menyerang
perakaran tanaman, belalang, dan thrip, disamping juga potensial sebagai faktor
mortalitas utama aphid yang menyerang kentang dan tanaman inang lainnya.
Konidia merupakan unit B. bassiana yang paling
infektif dan stabil untuk aplikasi di lapang dibandingkan dengan hifa maupun
blastosporanya (Soper dan Ward, 1981; Feng et al., 1994). Konidia yang
diaplikasikan dapat berupa suspensi (tidak diformulasi), formulasi butiran, dan
bentuk pellet, dan ketiganya memperlihatkan hasil pengendalian yang cukup
nyata. Stimac et al. (1993) menyatakan bahwa aplikasi konidia B. bassiana
dengan cara sprinkle dan disemprotkan pada permukaan tanah sangat efektif
menyebabkan mortalitas hama sasaran. Mortalitas hama semut api, Selenopsis
invicta, yang dikendalikan dengan B. bassiana tertinggi mulai 3-8 hari setelah
perlakuan. Sedangkan enkapsulasi (pellet) konidia B. bassiana dengan
menggunakan kalsium alginat juga efektif meningkatkan mortalitas S. invicta
(White, 1995), karena enkapsulasi menyebabkan konidia lebih stabil di dalam
tanah.
Beberapa senyawa metabolit sekunder diproduksi
oleh B. bassiana, seperti beauvericin, bassianin, bassiacridin,
bassianolide, beauverolides, tenellin, dan oosporein (Strasser et al., 2000;
Vey et al., 2001; Quesada-Moraga dan Vey, 2004). Senyawa metabolit sekunder ini
dapat dihasilkan oleh B. bassiana pada epizootik di alam (tanah) maupun pada
epizootik buatan (di laboratorium). Meskipun demikian, hingga saat ini belum
ada laporan tentang tercemarnya rantai makanan oleh senyawa metabolit sekunder,
atau terakumulasi di alam sebagai limbah epizootik B. bassiana (Vey et al.,
2001).
Penggunaan B. bassiana dalam pengendalian hama
telah diuji secara luas di berbagai negara. Hasil uji toksikologi terhadap
salah satu produk B. bassiana, Botanigard, menunjukkan bahwa produk tersebut
tidak menimbulkan dampak negatif yang berhubungan dengan patogenisitas dan
toksisitasnya, sehingga produk tersebut digunakan secara aman selama lebih dari
10 tahun di Amerika Serikat dan juga di beberapa negara lain (US EPA, 2006).
Pengujian Botanigard terhadap mamalia, burung, dan ikan juga tidak
menunjukkan pengaruh negatif terhadap perkembangan hewan-hewan tersebut (US EPA, 2006).Demikian pula pengujian terhadap sejumlah
reptil maupun vertebrata yang membuktikan bahwa B. bassiana tidak menginfeksi
keduanya (Georg et al., 1962; Fromtling et al., 1979; Gonzalez et al., 1995).
PENGEMBANGBIAKAN B.BASSIANAN
Cukup banyak tersedia bahan untuk media alami
perbanyakan B. bassiana, antara lain: beras, gandum, kedelai, jagung,
padi-padian, sorghum, kentang, roti, dan kacang-kacangan. Bahan mana yang akan
digunakan tergantung pada beberapa faktor, termasuk kemudahan memperoleh bahan
tersebut, biaya, dan strain isolat yang akan diperbanyak. Dalam perbanyakan B.
bassiana dengan bahan-bahan alami, untuk menghasilkan konidia dalam jumlah
maksimal diperlukan media dengan partikel yang permukaannya lebih luas. Bahan
media yang cenderung menggumpal akan memiliki luas permukaan yang sempit,
sehingga produksi konidia juga sedikit. Media yang ideal adalah media yang
tidak hanya mempunyai partikel dengan permukaan luas, tetapi juga yang dapat
mempertahankan keutuhan partikel selama proses produksi (Maheva et al., 1984;
Bradley et al., 1992).
Tiga jenis bahan media alami yang telah dicoba
dalam perbanyakan B. bassiana skala besar di New Zealand adalah beras, gandum,
dan barley. Hasilnya, beras merupakan media paling sesuai bagi perkembangan B.
bassiana dengan produktivitas konidia tertinggi mencapai 4,38 x 109 konidia/g
beras (Nelson dan Glare, 1996). Penggunaan berbagai jenis sereal, selain beras,
sebagai media perbanyakan B. bassiana perlu dipertimbangkan mengingat kandungan
nutrisinya yang sangat bervariasi (Jenkins et al., 1998). Perbedaan kandungan
nutrisi ini sangat mempengaruhi produksi konidia, terutama per kelompok produksi
(batch). Oleh karena itu, pemilihan bahan media perbanyakan harus dilakukan
secara tepat, terutama memilih bahan yang memiliki kemampuan produksi konidia
secara konsisten dalam kelompok-kelompok produksi. Hasil penelitian lain juga
membuktikan bahwa beras putih merupakan bahan media perbanyakan B. bassiana
yang tepat karena produksi konidia yang tinggi (Alves dan Pereira, 1989;
Mendonca, 1992; Ibrahim dan Low, 1993; Milner et al., 1993). Hal tersebutMenunjukkan bahwa kombinasi faktor-faktor
produkai sangat kompatibel, termasuk keseimbangan nutrisi dalam bahan media,
biaya produksi, kemudahan memperoleh bahan, karakter fisik bahan, seperti
ukuran, bentuk, dan keutuhan bahan baik sebelum maupun setelah pengkolonisasian
konidia.
Dalam perbanyakan, temperatur inkubasi dan
cahaya sangat menentukan produktivitas konidia. Temperatur optimal setiap
cendawan bervariasi tidak saja antar spesies, tetapi juga antar isolat (Thomas
dan Jenkins, 1997; Alasoadura, 1963). Temperatur optimal untuk perkecambahan
konidia adalah 25-30°C, dengan temperatur minimum 10°C dan maksimum 32°C.
Sedangkan pH optimal untuk pertumbuhan adalah 5,7-5,9, tapi idealnya pH 7-8
(Goral dan Lappa, 1972). Beberapa cendawan membutuhkan cahaya untuk proses
sporulasi, sedangkan cendawan lainnya tidak terpengaruh oleh cahaya. Tetapi ada
pula cendawan yang sporulasinya terhambat pada tingkat intensitas cahaya
tertentu (Vouk dan Klas, 1931). Penelitian terdahulu membuktikan bahwa B.
bassiana yang diproduksi di lingkungan tanpa cahaya (gelap) konidianya
cenderung berukuran lebih besar dan lebih virulen dibanding yang diproduksi
pada tempat terang (Humphreys et al., 1989; Williams, 1959). Hal ini penting
sebagai bahan pertimbangan dalam memilih kemasan yang sesuai apabila biakan
cendawan harus dibawa ke luar areal perbanyakan. Selain itu yang lebih penting
dalam perbanyakan B. bassiana untuk skala komersial adalah kesesuaian produk
dengan teknik formulasi dan aplikasinya.
Umumnya produk B. bassiana diformulasi dalam
bentuk bubuk (powder) dan merupakan formulasi paling efektif memicu kontak
dengan hama sasaran (Stimac et al., 1993). Formulasi B. bassiana berupa pellet
hasil enkapsulasi miselium selain efektif untuk meningkatkan mortalitas hama
juga untuk mengurangi kompetisi dengan mikroba lain, sehingga meningkatkan daya
hidup B. bassiana (White, 1995).
Dalam jurnal diketahui kalau penambahan tepung
tapioka sebanyak 1 g dan suhu penyimpanan 5OC, mempunyai potensi yang baik
dalam mempertahankan viabilitas spora B. bassiana sekurang-kurangnya sampai dua
bulan penyimpanan. Hal tersebut disebabkan oleh kemampuan daya simpan tepung
tapioka yang lebih baik daripada tepung beras dan maizena serta didukung oleh
suhu rendah yang sesuai untuk mempertahankan viabilitas spora B. bassiana.
Terjadi penurunan viabilitas spora kering B. bassiana lebih cepat, seiring
dengan semakin meningkatnya dosis pembawa, suhu dan lama penyimpanan.
Penyimpanan pada suhu 5OC menunjukkan kemampuan mempertahankan viabilitas spora
B. bassiana kering murni lebih lama daripada kondisi suhu 23C dan suhu 29C.
Perkembangan pemanfaatan cendawan
entomopatogen B. bassiana cukup pesat, karena cendawan ini dapat mengendalikan
berbagai spesies serangga hama, baik yang hidup pada kanopi tanaman maupun di
dalam tanah. B. bassiana aman bagi serangga bukan sasaran, terutama serangga
berguna dan musuh alami. B. bassiana aman bagi serangga bukan sasaran, terutama serangga
berguna dan musuh alami.
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) saat ini sudah
mulai diterapkan di berbagai tempat oleh petani. Pengendalian ini dikhususkan
pada pengendalian hama menggunakan cara yang ramah lingkungan seperti dengan
cara biologi, mekanik, fisik, kultur teknis, dan sanitasi. Pengendalian hama
yang terus menerus menggunakan pestisida akan menimbulkan dampak negatif yang
cukup besar seperti hilangnya unsur hara yang ada pada tanah.
Pengendalian menggunakan Beauveria bassiana pada
konsentrasi tinggi terbukti bisa menurunkan mortalitas hama dengan persentase
mencapai 84 persen. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk memastikan
bahwa cendawanBeauveria bassiana mampu mengendalikan populasi hama dan layak untuk
diterapkan pada sistem budidaya tanaman. Dengan demikian, pada artikel ini dicontohkan
hasil pengaplikasian cendawan Beauveria
bassiana terhadap beberapa
hama penting tanaman. Seluruh hama mati pada persentase hingga 84 persen
membuktikan keberhasilan metode pengendalian menggunakan cendawan entomofagus Beauveria bassiana.
Tiga jenis bahan media alami yang telah dicoba
dalam perbanyakan B. bassiana skala besar di New Zealand adalah beras, gandum,
dan barley. Hasilnya, beras merupakan media paling sesuai bagi perkembangan B.
bassiana dengan produktivitas konidia tertinggi mencapai 4,38 x 109 konidia/g
beras (Nelson dan Glare, 1996). Penggunaan berbagai jenis sereal, selain beras,
sebagai media perbanyakan B. bassiana perlu dipertimbangkan mengingat kandungan
nutrisinya yang sangat bervariasi (Jenkins et al., 1998). Perbedaan kandungan
nutrisi ini sangat mempengaruhi produksi konidia, terutama per kelompok produksi
(batch). Oleh karena itu, pemilihan bahan media perbanyakan harus dilakukan
secara tepat, terutama memilih bahan yang memiliki kemampuan produksi konidia
secara konsisten dalam kelompok-kelompok produksi. Hasil penelitian lain juga
membuktikan bahwa beras putih merupakan bahan media perbanyakan B. bassiana
yang tepat karena produksi konidia yang tinggi (Alves dan Pereira, 1989;
Mendonca, 1992; Ibrahim dan Low, 1993; Milner et al., 1993). Hal tersebut
.
PROSES PENGINVEKSIAN
S Sedangkan habitat tanamannya mulai tanaman
kedelai, sayur-sayuran, kapas, jeruk, buah-buahan, tanaman hias, hingga
tanaman-tanaman hutan. Mekanisme infeksi dimulai dari melekatnya konidia pada
kutikula serangga, kemudian berkecambah dan tumbuh di dalam tubuh inangnya.
Hunt et al. (1984) menyatakan bahwa perkecambahan konidia cendawan baik pada
integumen serangga maupun pada media buatan umumnya membutuhkan nutrisi
tertentu, seperti glukosa, glukosamin, khitin, tepung, dan nitrogen, terutama
untuk pertumbuhan hifa (Thomas et al., 1987). Beberapa strain isolat B.bassiana
yang dikoleksi saat ini adalah berasal dari berbagai spesies serangga hama yang
merupakan inang spesifiknya. Semua isolat telah diuji di laboratorium pada ulat
H.armigera dan ternyata dua diantaranya menunjukkan virulensi tinggi . B.
bassiana memproduksi toksin yang disebut beauvericin (Kučera dan Samšiňáková,
1968). Antibiotik ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan
nukleus serangga, sehingga mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan
pada serangga yang terinfeksi. Selain secara kontak, B. bassiana juga dapat
menginfeksi serangga melalui inokulasi atau kontaminasi pakan. Broome et al.
(1976) menyatakan bahwa 37% dari konidia B. bassiana yang dicampurkan ke dalam
pakan semut api, Selenopsis richteri, berkecambah di dalam saluran pencernaan
inangnya dalam waktu 72 jam, sedangkan hifanya mampu menembus dinding usus
antara 60-72 jam. Di dalam tubuh inangnya cendawan ini dengan cepat
memperbanyak diri hingga seluruh jaringan serangga terinfeksi. Serangga yang
telah terinfeksi B. bassiana biasanya akan berhenti makan, sehingga menjadi
lemah, dan kematiannya bisa lebih cepat. Serangga yang mati tidak selalu
disertai gejala pertumbuhan spora. Contohnya, aphid yang terinfeksi B.bassiana
hanya mengalami pembengkakan tanpa terjadi perubahan warna. Demikian pula
tempayak lalat yang terinfeksi B. bassiana sering ditemukan secara berkelompok
pada ujung-ujung rerumputan (Plate, 1976).
Kematian serangga biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan secara menyeluruh, dan atau karena toksin yang diproduksi
oleh cendawan. Menurut Cheung dan Grula (1982), penyakit white muscardine yang
menyerang saluran pencernaan Heliothis zea mengakibatkan gangguan nutrisi
hingga kematian. Serangga yang terbunuh tubuhnya akan berwarna putih karena
ditumbuhi konidia B. bassiana. Jumlah konidia yang dapat dihasilkan oleh satu
serangga ditentukan oleh besar kecilnya ukuran serangga tersebut. Setiap
serangga terinfeksi B. bassiana akan efektif menjadi sumber infeksi bagi
serangga sehat di sekitarnya.
Faktor lingkungan, terutama kelembaban dan
temperatur serta sedikit cahaya sangat penting perannya dalam proses infeksi
dan sporulasi cendawan entomopatogen (Roberts dan Campbell, 1977; McCoy et al.,
1988). Temperatur optimum untuk perkembangan, patogenisitas, dan kelulusan
hidup cendawan umumnya antara 20-30°C (McCoy et al., 1988). Untuk perkecambahan
konidia dan sporulasi pada permukaan tubuh serangga dibutuhkan kelembaban sangat
tinggi (> 90% RH), terutama kelembaban di lingkungan mikro sekitar konidia
sangat penting perannya dalam proses perkecambahan dan produksi konidia
(Millstein et al., 1983; Nordin et al., 1983). Tetapi sebaliknya untuk
melepaskan konidia B. bassiana dari konidifor hanya dibutuhkan kelembaban
sekitar 50% (Gottwald dan Tedders, 1982).
0 komentar:
Posting Komentar